Selasa, 05 Februari 2013

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA BERFUNGSI UNTUK MENCAPAI PEMERINTAHAN YANG WELFARE - STATE



 
A.   PENDAHULUAN

Ilmu Hukum Administrasi Negara berkaitan dengan sejarah kemunculan negara hukum (Rechtstaat) khususnya Eropa Kontinental yang berbeda dengan konsep Rule of Law pada Anglo saxon. Pada umumnya Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau hubungan organ pemerintah. Istilah ”pemerintah” digunakan dalam dua pengertian, Pertama dalam arti luas, adalah kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan politik dan, Kedua dalam arti sempit, adalah meliputi kegiatan negara kecuali pembuatan undang-undang dan peradilan.
Menurut Utrecht, dalam Hukum Administrasi Negara terkandung 2 (dua) aspek, yaitu:
Aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya, dan Aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetreking) antara alat perlengkapan administrasi atau pemerintah dengan para warganegaranya.
B.   HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Secara teoritis, hukum administrasi negara merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan yang keberadaannya setua dengan konsepsi negara hukum atau muncul bersamaan dengan diselenggarakannya kekuasaan negara dan pemerintahan berdasarkan aturan hukum tertentu.
Menurut A.M. Donner, Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, dan melindungi administrasi negara itu sendiri.
1.    Definisi Hukum Administrasi Negara
Pada dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk dapat memberikan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara.
Menurut pendapat ahli yang lain mendefinisikan hukum administrasi negara adalah :
  1. Oppen Hein mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”
  2. Marcel Waline mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan yang menguasai kegiatan-kegiatan alat-alat perlengkapan Negara yang bukan alat perlengkapan perundang-undangan atau kekuasaan kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan alat-alat perlengkapan tersebut, baik terhadap warga masyarakat maupun antara alat-alat perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha negara/ administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan kewajiban-kewajiban kepada para warga masyarakat dengan peraturan alat-alat perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umum.
  3. E. Utrecht mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan para pejabat pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara khusus.
Jadi ada tiga ciri-ciri Hukum Administarsi Negara :
1. Menguji hubungan hukum istimewa
2. Adanya para pejabat pemerintahan
3. Melaksanakan tugas-tuigas istimewa.
2.  Ruang lingkup hukum administrasi negara
Isi dan ruang lingkup Hukum Administarsi Negara menurut Van Vallen Hoven dalam bukunya yang berjudul :Omtrek van het administratiefrecht, memberikan skema tentang hukum administrasi Negara didalam kerangka hukum seluruhnya sebagai berikut :
a. Hukum Tata Negara/Staatsrecht meliputi :
1. Pemerintah/Bestuur
2. Peradilan/Rechtopraak
3. Polisi/Politie
4. Perundang-undangan/Regeling
b. Hukum Perdata / Burgerlijk
c. Hukum Pidana/ Strafrecht
d. Hukum Administarsi Negara/ administratief recht yang meliputi :
1. Hukum Pemerintah / Bestuur recht
2. Hukum Peradilan yang meliputi :
a. Hukum Acara Pidana
b. Hukum Acara Perdata
c. Hukum Peradilan Administrasi Negara
3. Hukum Kepolisian
4. Hukum Proses Perundang-undangan / Regelaarsrecht.
C. SISTEM HUKUM INDONESIA
Slogan-slogan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya menegaskan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian, apakah itu berarti hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan.
Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah terbangun menjadi suatu sistem. Norma hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari seabad, melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia telah menjadi bahan kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan agar dilakukan ‘revolusi’ dalam hukum, yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Dengan demikian krisis hukum yang sering disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis dalam sistem hukum secara keseluruhan, tetapi krisis dalam penegakan hukum.
Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum keagamaan. Di antara sistem-sistem hukum yang dikenal, sistem hukum Eropah Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum yang dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan sebutan Romano-Germanic Legal System adalah sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).
Secara umum Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sedangkan Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.
D.  PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Welfare – State
Konsep welfare state atau sosial service-state, yaitu negara yang pemerintahannya bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal. Didalam negara penjaga malam atau negara hukum dalam arti sempit (rechtstaat in engere zin).
Pemerintah hanya pempertahankan dan melindungi ketertiban sosial serta ekonomi berlandaskan asas “laissez faire, laissez aller”. Negara dilarang keras untuk mencampuri perekonomian maupun bidang kehidupan sosial lainnya. Dengan perkataan lain, administrasi negara bertugas (berfungsi) untuk mempertahankan suatu staatsonthouding, yakni prinsip pemisahan negara dari kehidupasn sosial – ekonomi masyarakat. Dalam konsep welfare state, administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif di seluruh segi kehidupan masyarakatnya. Dengan begitu sifat khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum modern) adalah, terdapatnya pengakuan dan penerimaan terhadap peranan-peranan yang dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk (menciptakan) kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan fungsinya.
Perkembangan masa yang berlangsung mengakibatkan perubahan secara mendasar atas peranan dan fungsi-fungsi yang diselenggarakan pemerintah. Negara selaku integritas kekuasaan massa, sudah tentu membutuhkan suatu tingkat kestabilan khusus dalam sistem sosialnya untuk tetap dapat mempertahankan keseimbangan antara peranan atau penyelenggaraan fungsi-fungsinya dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Dalam upaya mencapai hal tetrsebut, tidak saja diperlukan keselarasan atas tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh kelompok-kelompok sosial maupun kelompok–kelompok ekonomi yang terdapat pada negara, akan tetapi juga kreativitas untuk menciptakan secara terarah berbagai kondisi kesejahteraan sosial yang dikehendaki masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari melekatnya fungsi servis publik (bestuuszorg), maka administrasi negara makin dipaksa untuk menerima tanggung jawab positif dalam hal menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun kekayaan, serta menyediakan program kesejahteraan rakyat. Hal tersebut khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, perlakuan hukum yang sama, jaminan sosial. Melalui upaya-upaya itu eksistensi pemerintah hampir diseluruh dunia, tumbuh menjadi suatu pemerintah yang besar dan kuat, baik itu didalam runag lingkup fungsi maupun jumlah personal yang dibutuhkannya untuk melaksanakan tanggung jawabnya.
Setidak-tidaknya ada dua masalah penting akibat terjadnya perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara. Pertama, dengan makin pesatnya pertambahan jumlah personal penyelenggara fungsi servis publik, maka diasumsikan akan terjadi peningkatan jumlah korban sebagai akibat penekanan rejim pemerintah. Hubungan asumsi seperti itu, mungkin, cukup tercermin dari kecenderungan semakin tingginya penyelewengan – tindakan yang merugikan rakyat- dalam mencapai atau mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kedua, yakni masalah yang jauh lebih mengkhawatirkan, adalah kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan pada administrasi negara. Kemungkinan tersebut lebih terbuka dengan diberikannya suatu “kebebasan” untuk bertindak atas inisiatif sendiri (freies ermessen; pouvoir discretionnaire) guna menyelesaikan permasalahan yang sdang dihadapi dan perlu segera diselesaikan.
Di era reformasi, ketika kebijakan desentralisasi menggantikan kebijakan sentralisasi, masyarakat masih tetap pesimis. Pesimisme masyarakat tetap timbul karena praktik- praktik negatif seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang mewarnai perilaku aparat pemerintah daerah, peraturan daerah yang tidak mengakomodasi kepentingan warga masyarakat dan sulitnya ber investasi karena rumitnya proses perijinan. Intinya, permasalahan yang terjadi tidak banyak berubah yaitu buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance). Buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan di indikasikan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak-pihak lainnya, sehingga pengawasan menjadi sulit dilakukan;
2.  Terjadinya tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme);
3. Rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di berbagai bidang.
Selain pendapat diatas, buruknya birokrasi di Indonesia juga dapat dilihat dari :
·         Penyalahgunaan wewenang dan masih besarnya praktek KKN,
·         Rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur;
·         Sistem kelembagaan (organisasi) dan tata laksana (manajemen) pemerintahan yang belum memadai;
·         Rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja;
·         Rendahnya kualitas pelayanan umum;
·         Rendahnya kesejahteraan PNS;
·         Banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
E.  PENUTUP
Peran pemerintah sangat besar dan mencangkup seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah memiliki berbagai sumber daya untuk menunaikan kewajibannya, tetap saja tuntutan masyarakat selalu lebih tinggi tuntutannya dibanding dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhinya. Pada intinya pandangan baru yang berkembang tentang peran pemerintah adalah bahwa pemerintah harus mampu menciptakan nilai-nilai baru (value creating) dalam rangka meningkat pelayanan kepada masyarakat.
Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus disesuaikan dengan platform more steering the rowing, yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat. Perimbangan kekuasaan menandaskan adanya mekanisme check and balances antara beberapa pemegang kekuasaan, baik kekuasaan yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di masyarakat. Faktor kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya, bersih dan tidak cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor kepemimpinan sangat menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan, terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan individu atau golongan. Syarat intelektualitas dan wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin birokrasi memiliki visi yang jauh kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan kepentingan umum dan kemampuan menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai tujuan yang diinginkan.



DAFTAR PUSTAKA


Ragawino Bewa, Hukum Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2006.
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1966.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Sarkadi Pamadi, Sistem Hukum Indonesia, Universitas Terbuka, Jakarta, 2007.








0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates