A. PENDAHULUAN
Ilmu Hukum Administrasi Negara
berkaitan dengan sejarah kemunculan negara hukum (Rechtstaat) khususnya
Eropa Kontinental yang berbeda dengan konsep Rule of Law pada Anglo
saxon. Pada umumnya Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari hukum
publik, yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan
antara pemerintah dengan warga negara atau hubungan organ pemerintah. Istilah ”pemerintah”
digunakan dalam dua pengertian, Pertama dalam arti luas, adalah kegiatan negara
dalam melaksanakan kekuasaan politik dan, Kedua dalam arti sempit, adalah
meliputi kegiatan negara
kecuali pembuatan undang-undang dan peradilan.
Menurut
Utrecht, dalam Hukum Administrasi Negara terkandung 2 (dua) aspek, yaitu:
Aturan-aturan
hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu
melakukan tugasnya, dan Aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetreking)
antara alat perlengkapan administrasi atau pemerintah dengan para
warganegaranya.
B. HUKUM
ADMINISTRASI NEGARA
Secara
teoritis, hukum administrasi negara merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan
yang keberadaannya setua dengan konsepsi negara hukum atau muncul bersamaan
dengan diselenggarakannya kekuasaan negara dan pemerintahan berdasarkan aturan
hukum tertentu.
Menurut A.M.
Donner, Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang
memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga
melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, dan melindungi
administrasi negara itu sendiri.
1. Definisi
Hukum Administrasi Negara
Pada
dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk dapat memberikan
suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu Hukum
Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah
pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara.
Menurut
pendapat ahli yang lain mendefinisikan hukum administrasi negara adalah :
- Oppen Hein mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”
- Marcel Waline mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan yang menguasai kegiatan-kegiatan alat-alat perlengkapan Negara yang bukan alat perlengkapan perundang-undangan atau kekuasaan kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan alat-alat perlengkapan tersebut, baik terhadap warga masyarakat maupun antara alat-alat perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha negara/ administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan kewajiban-kewajiban kepada para warga masyarakat dengan peraturan alat-alat perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umum.
- E. Utrecht mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan para pejabat pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara khusus.
Jadi
ada tiga ciri-ciri Hukum Administarsi Negara :
1.
Menguji hubungan hukum istimewa
2.
Adanya para pejabat pemerintahan
3.
Melaksanakan tugas-tuigas istimewa.
2. Ruang
lingkup hukum administrasi negara
Isi
dan ruang lingkup Hukum Administarsi Negara menurut Van Vallen Hoven dalam
bukunya yang berjudul :Omtrek van het administratiefrecht, memberikan skema
tentang hukum administrasi Negara didalam kerangka hukum seluruhnya sebagai
berikut :
a.
Hukum Tata Negara/Staatsrecht meliputi :
1.
Pemerintah/Bestuur
2.
Peradilan/Rechtopraak
3.
Polisi/Politie
4.
Perundang-undangan/Regeling
b.
Hukum Perdata / Burgerlijk
c.
Hukum Pidana/ Strafrecht
d.
Hukum Administarsi Negara/ administratief recht yang meliputi :
1.
Hukum Pemerintah / Bestuur recht
2.
Hukum Peradilan yang meliputi :
a.
Hukum Acara Pidana
b.
Hukum Acara Perdata
c.
Hukum Peradilan Administrasi Negara
3.
Hukum Kepolisian
4.
Hukum Proses Perundang-undangan / Regelaarsrecht.
C. SISTEM HUKUM INDONESIA
Slogan-slogan
Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat
Jutitia Ruat Caelum, dan
lain-lainya menegaskan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun
keberadaan norma hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi
keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian,
apakah itu berarti hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu
yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut
telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus
dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan
tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat adalah
aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau
kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan.
Ada pendapat bahwa hukum
Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah terbangun menjadi suatu sistem.
Norma hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari
seabad, melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih
berlaku. Sejak pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem
hukum Indonesia telah menjadi bahan kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan
agar dilakukan ‘revolusi’ dalam hukum, yang banyak diserukan adalah reformasi
dalam bidang-bidang hukum tertentu. Dengan demikian krisis hukum yang sering
disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis dalam sistem hukum secara keseluruhan,
tetapi krisis dalam penegakan hukum.
Menurutnya
tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi
hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi
hukum keagamaan. Di antara sistem-sistem
hukum yang dikenal, sistem hukum Eropah Kontinental dan sistem hukum Anglo
Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum yang
dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan sebutan Romano-Germanic Legal System adalah
sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem
hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, berbagai
ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan
ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari
populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem
hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi putusan
hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia
Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi
Quebec) dan Amerika
Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan
dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).
Secara umum Sistem Hukum Eropah
Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-undangan
menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain
menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya
ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan
kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat
undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan
sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta
dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sedangkan Sistem Hukum
Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan
dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga
peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu
sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat
secara nyata.
Sistem hukum di Indonesia dewasa
ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses
penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang
telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi
juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat
internasional.
Tidak hanya
unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan dinamika,
untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat
tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak
menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.
Komitmen
untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum
maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum.
Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa
keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum
dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.
D. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Welfare – State
Konsep
welfare state atau sosial service-state, yaitu negara yang pemerintahannya
bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan
ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal.
Didalam negara penjaga malam atau negara hukum dalam arti sempit (rechtstaat in
engere zin).
Pemerintah
hanya pempertahankan dan melindungi ketertiban sosial serta ekonomi
berlandaskan asas “laissez faire, laissez aller”. Negara dilarang keras untuk
mencampuri perekonomian maupun bidang kehidupan sosial lainnya. Dengan
perkataan lain, administrasi negara bertugas (berfungsi) untuk mempertahankan
suatu staatsonthouding, yakni prinsip pemisahan negara dari kehidupasn sosial –
ekonomi masyarakat. Dalam konsep welfare state, administrasi negara diwajibkan
untuk berperan secara aktif di seluruh segi kehidupan masyarakatnya. Dengan
begitu sifat khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum modern) adalah,
terdapatnya pengakuan dan penerimaan terhadap peranan-peranan yang dilakukannya
sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk (menciptakan) kondisi
sosial, ekonomi dan lingkungan fungsinya.
Perkembangan
masa yang berlangsung mengakibatkan perubahan secara mendasar atas peranan dan
fungsi-fungsi yang diselenggarakan pemerintah. Negara selaku integritas
kekuasaan massa, sudah tentu membutuhkan suatu tingkat kestabilan khusus dalam
sistem sosialnya untuk tetap dapat mempertahankan keseimbangan antara peranan
atau penyelenggaraan fungsi-fungsinya dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai.
Dalam upaya mencapai hal tetrsebut, tidak saja diperlukan keselarasan atas
tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh kelompok-kelompok sosial maupun
kelompok–kelompok ekonomi yang terdapat pada negara, akan tetapi juga
kreativitas untuk menciptakan secara terarah berbagai kondisi kesejahteraan
sosial yang dikehendaki masyarakat.
Sebagai
konsekuensi dari melekatnya fungsi servis publik (bestuuszorg), maka
administrasi negara makin dipaksa untuk menerima tanggung jawab positif dalam
hal menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun kekayaan, serta
menyediakan program kesejahteraan rakyat. Hal tersebut khususnya dalam bidang
pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, perlakuan hukum yang sama, jaminan
sosial. Melalui upaya-upaya itu eksistensi pemerintah hampir diseluruh dunia,
tumbuh menjadi suatu pemerintah yang besar dan kuat, baik itu didalam runag
lingkup fungsi maupun jumlah personal yang dibutuhkannya untuk melaksanakan
tanggung jawabnya.
Setidak-tidaknya
ada dua masalah penting akibat terjadnya perkembangan peranan dan fungsi
administrasi negara. Pertama, dengan makin pesatnya pertambahan jumlah personal
penyelenggara fungsi servis publik, maka diasumsikan akan terjadi peningkatan
jumlah korban sebagai akibat penekanan rejim pemerintah. Hubungan asumsi
seperti itu, mungkin, cukup tercermin dari kecenderungan semakin tingginya
penyelewengan – tindakan yang merugikan rakyat- dalam mencapai atau mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Kedua,
yakni masalah yang jauh lebih mengkhawatirkan, adalah kemungkinan terjadinya
pemusatan kekuasaan pada administrasi negara. Kemungkinan tersebut lebih
terbuka dengan diberikannya suatu “kebebasan” untuk bertindak atas inisiatif
sendiri (freies ermessen; pouvoir discretionnaire) guna menyelesaikan
permasalahan yang sdang dihadapi dan perlu segera diselesaikan.
Di era
reformasi, ketika kebijakan desentralisasi menggantikan kebijakan sentralisasi,
masyarakat masih tetap pesimis. Pesimisme masyarakat tetap timbul karena
praktik- praktik negatif seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang mewarnai perilaku
aparat pemerintah daerah, peraturan daerah yang tidak mengakomodasi kepentingan
warga masyarakat dan sulitnya ber investasi karena rumitnya proses perijinan.
Intinya, permasalahan yang terjadi tidak banyak berubah yaitu buruknya
penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance).
Buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan di indikasikan oleh beberapa hal,
antara lain:
1. Dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak-pihak
lainnya, sehingga pengawasan menjadi sulit dilakukan;
2. Terjadinya tindakan KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme);
3. Rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada
publik atau masyarakat di berbagai bidang.
Selain pendapat diatas, buruknya birokrasi di Indonesia juga dapat
dilihat dari :
·
Penyalahgunaan wewenang dan masih besarnya
praktek KKN,
·
Rendahnya kinerja sumber daya manusia dan
kelembagaan aparatur;
·
Sistem kelembagaan (organisasi) dan tata
laksana (manajemen) pemerintahan yang belum memadai;
·
Rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja;
·
Rendahnya kualitas pelayanan umum;
·
Rendahnya kesejahteraan PNS;
·
Banyaknya peraturan perundang-undangan yang
sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
E. PENUTUP
Peran pemerintah sangat besar dan
mencangkup seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah memiliki
berbagai sumber daya untuk menunaikan kewajibannya, tetap saja tuntutan
masyarakat selalu lebih tinggi tuntutannya dibanding dengan kemampuan
pemerintah untuk memenuhinya. Pada intinya pandangan
baru yang berkembang tentang peran pemerintah adalah bahwa pemerintah harus
mampu menciptakan nilai-nilai baru (value creating) dalam rangka meningkat
pelayanan kepada masyarakat.
Oleh karena itu desain kelembagaan
pemerintah harus disesuaikan dengan platform more steering the rowing, yaitu
organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya fungsi,
miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat
menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat. Perimbangan kekuasaan menandaskan
adanya mekanisme check and balances antara beberapa pemegang kekuasaan, baik
kekuasaan yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di masyarakat. Faktor
kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya, bersih dan tidak
cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor kepemimpinan sangat
menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan, terbuka dan tidak
berpihak kepada kepentingan individu atau golongan. Syarat intelektualitas dan
wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin birokrasi memiliki visi yang jauh
kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan kepentingan umum dan kemampuan
menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai tujuan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ragawino Bewa, Hukum Administrasi Negara, Universitas
Padjadjaran, Bandung, 2006.
E. Utrecht, Pengantar
Hukum Administrasi Negara Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1966.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Sarkadi
Pamadi, Sistem Hukum Indonesia,
Universitas Terbuka, Jakarta, 2007.
0 komentar:
Posting Komentar